Apa sebab Agus Salim sangat piawai berbicara dan berdiplomasi? Oleh
sejarawan Mestika Zed, pertanyaan tersebut terjawab, bahwa kemahiran
Agus Salim dalam mengolah kalimat tidak lepas dari asal tanah
kelahirannya, yakni Minangkabau. Agus Salim, anak Melayu kelahiran Koto
Gadang, Sumatra Barat, sangat menyadari bakat lahirnya sebagai putra
daerah dari negeri kata-kata –julukan yang disematkan untuk Minangkabau.
Faktor geografis ranah Minang, lanjut Zed, menyuburkan pencarian
gagasan dan cita-cita Agus Salim. Tradisi merantau melahirkan jiwa yang
bebas, dinamis, dan kosmopolitis. Bahkan tradisi itu dapat ditemukan
pada setiap tokoh asal Minangkabau, meskipun Agus Salim dianugerahi
kelebihan khusus hal-ihwal wacana kata-kata (Kompas, 06 September 2004).
Agnes Aristiarini turut mengamini pendapat Mestika Zeid dengan
berujar bahwa Agus Salim sebagai pewaris negeri kata-kata telah
memanfaatkan mulut dan lidahnya untuk memperjuangkan nasib rakyat, nasib
bangsa, nasib negara. “Ia adalah bapak bangsa dari negeri kata-kata,”
tambah Agnes yang berprofesi sebagai jurnalis ini.
Budaya Minang yang melahirkan tradisi petatah-petitih umumnya tidak
hanya bernilai seni retorika, tetapi juga latihan berpikir dan
pengakumulasian pengetahuan lokal yang unik. Maka di Minang, mulut dan
lidah menjadi amat berharga, tidak hanya berfungsi sekadar indra
pengecap selera masakan -yang membuat berkembangnya aneka makanan khas
Minang- melainkan lebih luas lagi, yaitu sebagai sebuah lembaga
pemikiran (M. Nasruddin Anshoriy Ch & Djunaidi Tjakrawerdaya, 2008).
Agus Salim merupakan salah satu dari sederet tokoh bertaraf nasional
kelahiran Minangkabau yang sukses menjejakkan nama dan jasa dalam
perjalanan sejarah bangsa Indonesia, khususnya pada era pergerakan
nasional dan kemerdekaan. Bahkan, di antara tokoh-tokoh pergerakan
nasional asal Sumatra Barat –termasuk Siti Roehana Koedoes yang juga
lahir di Kotogadang, Tan Malaka (kelahiran Limapuluh Kota), Mohammad
Jamin (Sawah Lunto), Mohammad Natsir (Alahan Panjang), Djamaluddin
Adinegoro (Talawi), serta Mohammad Hatta dan Abdoel Moeis (keduanya
dilahirkan di Bukittinggi), hingga Buya Hamka (kelahiran Maninjau)– Agus
Salim layak ditabalkan sebagai guru bangsa bagi tokoh-tokoh tersebut ,
juga sebagai bapak bangsa bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sang begawan yang kerap diberi julukan the old fox karena
kepiawaiannya bersilat lidah di dalam forum ini aktif bergerak merintis
cita-cita kemerdekaan bangsa Indonesia sejak perjalanan dekade kedua
abad ke-20. Pada medio itu, Agus Salim berjuang mengiringi sepak-terjang
tokoh pergerakan terbesar rakyat Jawa, Hadji Oemar Said Tjokroaminoto,
sebagai dwi tunggal Sarekat Islam yang kala itu menjadi sebuah
organisasi pergerakan rakyat Indonesia yang terbesar.
Menjelang kemerdekaan Indonesia, Agus Salim turut berperan aktif untuk
mempersiapkan berdirinya sebuah negara baru yang berdaulat dan terpilih
sebagai anggota Panitia 9 Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) yang bertugas menyusun rancangan Undang-Undang Dasar
1945.
Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dinyatakan Soekarno-Hatta di
Jakarta pada 17 Agustus 1945, bukan berarti perjuangan telah berakhir,
justru pada masa inilah perjuangan rakyat Indonesia memasuki masa-masa
yang berat. Sebagai negara yang baru merdeka, Indonesia membutuhkan
pengakuan dari negara-negara lain di dunia. Ketika para pejuang lainnya
bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan Indonesia dari ancaman
kembalinya Belanda, Agus Salim justru beringsut keluar mencari terang,
mengambil jalan perjuangan yang tidak semua orang bisa melakukannya.
Dengan tekad membara, kendati dengan kondisi finansial yang pas-pasan,
bahwa kemerdekaan Indonesia harus dipertahankan dan diketahui dunia,
Agus Salim dan rombongannya giat berkampanye ke dunia luar demi mendapat
pengakuan atas kemerdekaan bangsa Indonesia dari bangsa-bangsa lain
dengan perjuangan lewat jalur diplomasi.
Bapak Diplomasi Indonesia
Tanggal 10 Juni 1947, Agus Salim menorehkan kegemilangan bagi diri
dan bangsanya, ia sukses menggaet Mesir untuk menjalin kekerabatan intim
dengan Indonesia. Mesir memantapkan dukungannya terhadap kemerdekaan
dan kedaulatan Indonesia sebagai negara yang bukan lagi bagian dari
kekuasaan kolonial. Di bawah guratan tanda tangan Agus Salim selaku
wakil dari Indonesia dan Perdana Menteri Mesir Nokrasi Pasya,
disepakatilah sebuah perjanjian persahabatan antara kedua negara yang
termaktub hitam di atas putih.
Beberapa bulan sebelumnya, tepatnya pada akhir Maret dan awal April
1947, Agus Salim sudah berada di New Delhi, India, sebagai penasehat
delegasi kontingen Indonesia dalam Inter-Asian Relations Conference
(Konferensi Hubungan Antar-Asia). Selama di Delhi, orang tua bertubuh
kecil dan berjanggut putih ini mampu memikat hati rakyat India karena
keaktifan dan kelincahannya.
Di India, Agus Salim yang kala itu menjabat sebagai Menteri Luar
Negeri Republik Indonesia, menjalin hubungan dan berdialog dengan para
pemimpin India, baik yang tergabung dalam Indian National Congress
seperti Jawaharlal Nehru, maupun tokoh-tokoh politik Indonesia semisal
Muhammad Ali Jinnah dari All-India Moslem League. Di hadapan mereka,
Agus Salim berbicara dan berorasi dengan sangat baik, sehingga membuat
para tokoh India itu terkagum-kagum. Inilah upaya Agus Salim untuk
menarik simpati dunia demi satu tujuan: dukungan terhadap kemerdekaan
Indonesia (M. Safrinal [ed.], 2006).
Setelah Mesir dan India jatuh ke pelukan, Agus Salim melanjutkan
perjuangannya ke wilayah Asia yang lain, kali ini Timur Tengah yang
dibidik. Dalam waktu yang relatif tidak begitu lama, bersepakatlah Liga
Arab yang dimotori Saudi Arabia, Lebanon, Suriah, Yordania, serta Yaman,
untuk mendukung berdirinya negara Republik Indonesia berkat uluran
persahabatan dari Agus Salim.
Sejak lahirnya negara Republik Indonesia, Agus Salim memang telah
mantap menempati posisinya dalam bidang hubungan luar negeri. Pada
Kabinet Sjahrir II (1946) dan Kabinet III (1947), Agus Salim ditunjuk
sebagai Menteri Muda Luar Negeri. Tidak lama kemudian, yakni pada era
Kabinet Amir Sjarifuddin (1947), Agus Salim memegang peranan sebagai
Menteri Luar Negeri. Pada kurun 1948-1949, Agus Salim kembali menjadi
dipercaya untuk menjabat Menteri Luar Negeri dalam Kabinet Hatta. Pada
masa ini, Agus Salim berperan aktif dalam Konferensi Meja Bundar (KMB)
yang kemudian secara de jure mengakhiri perseteruan dengan Belanda.
Tindak lanjut dari kesepakatan KMB ini pada akhirnya membuat Belanda
harus menyerahkan dan mengakui kedaulatan Indonesia pada 27 Desember
1949.
Setelah Indonesia benar-benar menjadi negara yang berdaulat,
kepercayaan terhadap Agus Salim semakin kuat. Orang tua berjuluk the
grand old man ini didaulat lagi untuk menjabat sebagai Menteri Luar
Negeri Republik Indonesia pada Kabinet Presidentil. Selanjutnya, tahun
1950, Agus Salim didapuk untuk mengampu jabatan sebagai Penasehat
Menteri Luar Negeri. Agus Salim menunaikan tugas ini hingga akhir
hayatnya. Tokoh bangsa bernama asli Masyudul Haq ini menghembuskan nafas
penghabisan pada 4 November 1954 di Jakarta.
Ahli Diplomasi Sejak Usia Dini
Sesungguhnya Agus Salim adalah pengusung tradisi diplomatik angkatan
pertama dalam sejarah Indonesia. Karir diplomatiknya diawali dengan
diangkatnya Agus Salim sebagai konsulat di Jeddah, Arab Saudi, pada
kurun 1906-1911. Pengangkatan ini terwujud berkat rekomendasi ilmuwan
dan ahli politik Hindia Belanda, Prof. Snouck Hurgronje. Agus Salim
pernah mengungkapkan hal ini dalam suatu kesempatan, yakni pada 1953
ketika Agus Salim menyampaikan pidato di Cornell University, Amerika
Serikat, sebagai dosen tamu. Berikut ini nukilan pengakuan Agus Salim
dalam pidatonya tersebut:
“Ia (Snouck Hurgronje) nasihatkan aku agar tidak usah studi dokter ke
Belanda. Sebaliknya, ia menawarkan gagasan yang menurut pendapatnya
lebih baik. Maka pada suatu hari aku menerima surat dari kementerian
luar negeri Belanda, yang juga ditanda-tangani oleh sekretaris Gubernur
Jenderal, menawarkan kepada saya untuk masuk dinas luar Belanda, untuk
menempati posisi di Jeddah, Saudi Arabia.
Ketika itu telah tahun 1905, padahal sejak saya lulus HBS tahun 1903,
secara prinsip, saya menolak untuk menjadi pegawai pemerintah kolonial
di negara saya sendiri! Ayah saya menjelaskan bahwa kini yang menawarkan
pekerjaan bukan pemerintah Hindia Belanda, melainkan pemerintah Belanda
langsung.” (Panitia Buku Peringatan, 1996).
Snouck Hurgronje, yang berperan vital sebagai peletak dasar politik
Islam pemerintah kolonial Hindia Belanda, rupanya sudah sejak lama
mengamati Agus Salim dan dengan terus terang menilainya sebagai
intelektual muda yang cerdas, mempunyai pikiran yang tajam, dan
keberanian yang luar biasa untuk ukuran orang Melayu (Republika, 27
Oktober 2001). Kecemerlangan Agus Salim memang sudah terlihat sejak
dini, dia menjadi lulusan terbaik Hogeere Burger School (HBS), sekolah
menengah untuk kalangan Eropa dan Bumiputera yang dipersamakan,
se-Hindia Belanda. Prestasi yang dicapai Agus Salim sempat membuat R.A.
Kartini kagum dan kemudian menganjurkan kepada pemerintah Hindia Belanda
agar beasiswa yang disediakan baginya diberikan saja kepada Agus Salim,
karena Kartini sendiri tidak dapat mempergunakannya karena di waktu
yang sama, ia harus segera menikah (Deliar Noer, www.republika.co.id)
Meskipun demikian, harapan Agus Salim muda untuk mendapatkan beasiswa
sekolah kedokteran di Belanda kandas karena dia seorang pribumi.
Pemerintah kolonial Hindia Belanda merespon permohonan Agus Salim dengan
jawaban: tiada beasiswa untuk inlander. Pada waktu itulah datang
tawaran dari Snouck Hurgronje untuk menempati posisi sebagai konsulat di
Jeddah, dan momen inilah yang sebenarnya merupakan awal kiprah Agus
Salim dalam bidang diplomasi.
Selain tentu saja pengalamannya menjadi konsulat di Jeddah, sebagai
sang pemula tradisi diplomasi pribumi, kecakapan dan ketangguhan Salim
dalam urusan debat dan negoisasi ternyata sudah teruji di masa-masa
sebelumnya. Pada tahun 1927, Agus Salim sudah hadir pada Muktamar Alam
Islami di Mekkah dan sempat berdialog panjang dengan penguasa Saudi
Arabia yang terkesan atas cita-cita Agus Salim dalam upaya menyadarkan
rakyat Indonesia agar terbebas dari cengkeraman bangsa asing.
Hasil dari interaksi ini Agus Salim memperoleh dana untuk menerbitkan
surat kabar Fadjar Asia, terbit tahun 1927 hingga 1930. Fadjar Asia
adalah koran yang diterbitkan Agus Salim bersama Tjokroaminoto sebagai
media pembela kepentingan rakyat yang tertindas akibat kebijakan
pemerintah kolonial (Muhidin M. Dahlan [ed.], 2007). Di sinilah duet dwi
tunggal Sarekat Islam, Tjokroaminoto-Agus Salim, berharmonisasi saling
melengkapi: Tjokroaminoto menjadi “raja” di Jawa, sedangkan Agus Salim
melebarkan sayap untuk go internasional dengan menghadiri berbagai acara
di mancanegara.
Tak hanya itu, pada 1929-1930, Himpunan Serikat Buruh Belanda yang
bermarkas di Amsterdam, mengangkat Agus Salim sebagai penasehat penuh
mereka untuk menghadiri event Konferensi Buruh Sedunia (ILO) di Jenewa,
Swiss. Di sinilah Agus Salim berbicara lantang kepada semesta raya
tentang kekejian pemerintah kolonial Belanda terhadap bangsa Indonesia.
Mata dunia terbelalak mendengar kecaman Agus Salim yang diserukan fasih
dengan bahasa Belanda, Inggris, Jerman, serta Prancis itu. Akibat dari
gugatan Agus Salim di forum internasional tersebut, pemerintah kolonial
Hindia Belanda terpaksa harus mengubah politik kolonialismenya karena
semenjak itu, Amerika Serikat dan sebagian negara-negara Eropa tidak mau
lagi membeli hasil perkebunan Hindia Belanda yang dianggap sebagai
hasil kekejaman Belanda terhadap rakyat Indonesia.
Dari pengalaman-pengalaman berbicara di tingkat internasional itulah
wawasan serta talenta bertutur Agus Salim terus mengalami kemajuan.
Pengetahuannya tentang tata cara diplomasi sama rincinya dengan
pemahamannya tentang Islam, Al-Qur’an, dan Hadits. Agus Salim mulai
membangun citranya sebagai penggagas tradisi diplomasi yang kelak sangat
berguna bagi negara Indonesia untuk mempertegas jatidiri sebagai bangsa
yang merdeka. Dengan modal pengalaman dan jam terbang yang panjang
dalam riwayat pergerakan nasional, jejak-langkah Agus Salim semakin
terlihat jelas yang kemudian menabalkan perannya sebagai Bapak Bangsa
yang ikut menyangga rusuk tegaknya Republik Indonesia (Safrinal [ed.],
2006).
Bapak Bangsa Bagi Para Tokoh Bangsa
Agus Salim memang ulung dalam urusan mengolah kata. Ia dikenal
sebagai singa podium di dalam kancah perpolitikan di era pergerakan
nasional. Agus Salim adalah penguasa arena debat, raja adu mulut, dengan
perkataannya yang lugas, berisi, dan tidak jarang bernada sensasional.
Sindiran berbalut humor yang dilontarkan Agus Salim sangat tajam dan
mengena sehingga membuat sasarannya tidak bisa berkutik.
Tokoh terkemuka asal Belanda, Prof. Schermerhorn, mengakui kecemerlangan intelektual Agus Salim. Seperti yang
dikutip sejarawan Asvi Warman Adam dalam artikelnya, Schermerhorn pernah
berujar, “Orang tua yang sangat pandai ini seorang jenius dalam bidang
bahasa, mampu berbicara dan menulis dengan sempurna dalam paling sedikit
sembilan bahasa, mempunyai hanya satu kelemahan, yaitu selama hidupnya
melarat.” (Asvi Warman Adam, Kompas, 21 Agustus 2004).
Agus Salim adalah seorang agamis yang berpikiran luas lagi moderat.
Sejarawan kelahiran Sumatra Barat, Taufik Abdullah, menyebut gerakan
politik Agus Salim dengan nama “politik jalan melingkar”. Gaya politik
seperti ini, sebut Taufik Abdullah, identik dengan manuver yang elastis
namun efektif. Metode awal gerakan Agus Salim cenderung kooperatif, akan
tetapi kemudian menjadi agak radikal, sebelum kemudian kembali melunak
lagi. Ciri aksi “politik jalan melingkar” ini dilakukan Agus Salim
karena pergaulannya yang sangat luas.
Agus Salim dekat dengan segala kalangan, bahkan dengan kelompok orang
Belanda sekalipun. Lama menggauli kebiasaan Belanda membuat Agus Salim
tidak pernah minder berinteraksi dengan bangsa yang mengklaim dirinya
ras paling unggul itu, juga pada bangsa asing lainnya. Dengan menguasai
banyak bahasa, Agus Salim mewujud menjadi seorang diplomat ulung. Tutur
katanya yang khas itu senantiasa membawa keberhasilan dalam setiap misi
diplomasi yang diemban Agus Salim (Panitia Buku Peringatan, 1996).
Peran Agus Salim sebagai bapak bangsa Indonesia tidak terbantahkan
lagi. Tidak terhitung orang-orang besar yang menyanjung empunya orang
besar ini. “The Grand Old Man Haji Agus Salim adalah seorang ulama dan
intelek. Saya pernah meneguk air yang diberikan oleh Haji Agus Salim,
sambil duduk ngelesot di bawah kakinya,” demikian Sukarno mengakui
kebesaran gurunya itu.
Puja-puji senada juga disematkan para tokoh bangsa lainnya kepada
Agus Salim. “Sikapnya yang tangkas itu memberikan garam dalam ucapannya.
Biasanya terdapat dalam perdebatan atau tulisan yang menangkis serangan
lawan atau dalam pertukaran pikiran yang berisikan lelucon. Di situlah
terdapat apa yang dikatakan orang dalam bahasa Belanda: Salim op zijn
best,” sanjung Mohammad Hatta terhadap seniornya itu (Panitia Buku
Peringatan, 1996).
Buya Hamka mengalungkan segenap rasa takjub terhadap Agus Salim.
Sastrawan, ulama, sekaligus aktivis politik, ini mengatakan, “Bila kita
membicarakan manusia Agus Salim, kita teringat seorang pujangga, seorang
filosof, seorang wartawan, seorang orator, seorang politikus, seorang
pemimpin rakyat, seorang ulama. Jarang-jarang Tuhan memberikan manusia
semacam itu ke dalam alam ini, apalagi kepada suatu bangsa.”
Paus sastra Indonesia, H.B. Jassin, tidak mau ketinggalan dan angkat
topi terhadap pemikiran Agus Salim, “Dia ternyata tidak hanya membaca
buku-buku politik dan agama saja, melainkan juga buku-buku sastra dan
filsafat. Adalah aneh, seorang tokoh agama seperti dia menyenangi
buku-buku Nietzsche, filsuf Jerman yang dianggap atheis itu.”
Tokoh-tokoh nasional era sekarang pun menyematkan kekaguman senada
terhadap keistimewaan Agus Salim yang melegenda itu, termasuk Ahmad
Syafii Ma’arif, yang juga putra daerah Sumatra Barat. “Agus Salim adalah
pembela yang gigih terhadap sistem sosialisme plus Tuhan. Tetapi Salim
menyadari betapa terbelakangnya pemikiran para ulama dalam menghadapi
masalah-masalah besar sebagai realitas zaman yang berubah dengan cepat,”
tutur mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah ini.
Emil Salim, yang masih terhitung kerabat Agus Salim, merangkaikan
kata-kata sebagai berikut, “Haji Agus Salim menempatkan perjuangan
kemerdekaaan dan pembetukan negara dalam kerangka pengabdian dan ibadah
kepada Tuhan Yang Maha Esa.” Pengusaha media nasional, Jakob Oetama,
turut melafalkan puji, “Agus Salim dan para bapak bangsa lainnya unggul
dalam pemikiran dan kecendekiawanan.”
Dari kalangan cendekiawan muda, Moeslim Abdurrahman bersuara, “Agus
Salim adalah sumur intelektualitas dan kearifan yang pernah kita miliki,
tetapi sayangnya sering kita lupakan. Intelektualitas Agus Salim telah
dibuktikan lahir bukan dari spekulasi akademis, tetapi dari bagian
lahirnya bangsa ini.”(Agus Salim, 2008). Terakhir, politikus sekaligus
budayawan, Ridwan Saidi, menyimpulkan, “Ia (Agus Salim) adalah tokoh
nasional yang memiliki secara sempurna kemampuan berpikir, memimpin,
menulis, sekaligus berbicara.” (Republika, 21 Oktober 2001).
Dengan demikian jelaslah sudah, Agus Salim merupakan gurunya kaum
guru, pemimpinnya para pemimpin, serta bapak negaranya kalangan
negarawan. Agus Salim adalah putra kebanggaan Melayu yang dengan sadar
merintis dan mengajarkan tradisi diplomasi demi tegaknya nama Indonesia
di lingkungan peradaban dunia. Dari ranah Minang, Agus Salim merangkul
alam raya.
Iswara N. Raditya, Redaktur Sejarah www.MelayuOnline.com, Balai Kajian dan Pengembangan Budaya Melayu, Tinggal di Yogyakarta.
Referensi:
Agus Salim. 2008. Tentang Perang, Jihad, dan Pluralisme. Jakarta: Gramedia.
Asvi Warman Adam. “Agus Salim Manusia Merdeka”, dalam Kompas, 21 Agustus 2004.
Darwin Bahar. “Koto Gadang, Tiap Rumah Ada Sarjana”, dalam Republika, 27 Oktober 2001.
Deliar Noer. “Haji Agus Salim dan Kekuatan Politik Islam”, dalam Republika, 27 Oktober 2001.
M. Nasruddin Anshoriy Ch & Djunaidi Tjakrawerdaya. 2008. Rekam
Jejak Dokter Pejuang dan Pelopor Kebangkitan Nasional. Yogyakarta: PT
LKiS Pelangi Aksara.
M. Safrinal. 2006. Sang Guru: Peta Ringkas Hubungan Guru-Murid di Pelbagai Tradisi. Yogyakarta: Ekspresibuku.
M. Zein Hassan. 1980. Diplomasi Revolusi Indonesia di Luar Negeri;
Perjoangan Pemuda/Mahasiswa Indonesia di Timur Tengah. Jakarta: Bulan
Bintang.
Muhidin M. Dahlan (ed.). 2007. Seabad Pers Kebangsaan. Jakarta: Iboekoe.
Panitia Buku Peringatan. 1996. 100 tahun Haji Agus Salim. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
di Copas dari : http://darevan.wordpress.com/2012/05/