Pasa kajai bapaga tembok
Tarantak kawek tigo halai
Manangih kasau dengan atok
Mananga kabek ka diungkai
Berbicara soal kebudayaan tradisional, Kecamatan Talamau, Pasaman Barat, ternyata punya kesenian khas. Namanya ronggiang (ronggeng). Tapi maaf dulu, jangan pernah membayangkan ronggeng di Talamau itu, sama pula dengan ronggeng yang ada di Jawa.
Di Talamau, ronggeng mengapresiasi karya sastra yang luar biasa. Berbalas pantun yang tidak bisa dikonsep terlebih dahulu, menjadi ciri khasnya. Aktifitas ini, dilakukan oleh dua atau empat penari. Musik pengiringnya hanya dua gendang ditambah satu biola. Petikan pantun di atas, adalah satu karya sastra yang terapresiasi lewat ronggeng tersebut.
Sekali pagelaran, biasanya memakan waktu semalam suntuk, para penari mempertontonkan sedikitnya 44 topik lagu berbentuk pantun, yang diiringi dengan beragam tarian, sesuai dengan tema yang tengah dipantunkan.
Menurut Walinagari Kajai Mursal Syabirin dan Walinagari Talu Hj. Ernawati yang dihubungi secara terpisah, grup-grup ronggeng itu tersebar di semua kampung. Di Kajai dan Talau, jumlah mereka tidak kurang dari 30. Mereka siap melakukan pagelaran kapanpun dibutuhkan.
"Ronggeng itu digelar hingga menjelang subuh. Biasanya, digelar pada acara pesta perkawinan dan kegiatan kepemudaan. Setiap kampung di punya dua atau beberapa grup ronggeng. Bila tampil di kampung sendiri, mereka tidak perlu dibayar," terang Mursal.
Tapi, katanya, bila mereka diundang untuk tampil di kampung atau nagari lain, jelas ada tarif-tarif tertentu yang harus dibayar oleh pengundang. Harganya bervariasi, paling tinggi Rp600 ribu.
Adakah dampak kehadiran orgen tunggal terhadap ronggeng? Menurut Mursal tidak. Khusus untuk Nagari Kajai, pertunjukan orgen tidak dibenarkan malam hari. Itu sudah diatur dengan peraturan nagari. Tapi untuk ronggeng, pemerintah nagari mengizinkannya hingga pagi, sebab tidak pernah memicu terjadinya keributan. "Ronggeng itu menyiram jiwa, menambah pengetahuan dan menasehati penonton lewat pengalaman-pengalaman yang disampaikan dalam dendangan pantun," katanya.
Lantas, adakah beda antara ronggeng yang ada di Talu dengan Kajai? Menurut Hj. Ernawati, ada dua perbedaan yang mencolok dari kesenian khas dua nagari bertetangga itu. Bila ronggeng Kajai berkolaborasi debus, maka ronggeng Talu tidak, di sini murni menonjolkan pantun yang didendangkan dan gerak tarian. Bila ronggeng kajai, ada salah seorang penari dalam sekali penampilan yang berpakaian wanita, maka di ronggeng Talu yang tampil itu benar-benar wanita.
"Penari ronggeng itu kan laki-laki semua, tapi kalau di Talu, ada yang wanitanya. Jangan berpikiran negatif dulu, wanita yang ikut tampil itu adalah wanita yang sudah bersuami, bukan anak gadis. Dia tampil atas permintaan penonton karena yang bersangkutan dikenal lihai berpantun dan seizin suami yang ikut menonton," terang Ernawati, satu-satunya walinagari perempuan di Pasaman dan Pasaman Barat.
Kendati grup ronggeng Talu juga menampilkan debus, seperti yang dikolaborasi grup ronggeng Kajai, tapi atraksinya ditampilkan secara terpisah.
Sayangnya, kesenian kesenian khas Talamau yang sudah dikenal luas di Medan dan Malaysia itu, terutama lewat rekaman kaset dan vcd, belum mendapat perhatian yang sungguh-sungguh dari Pemerintah Kabupaten Pasaman Barat. "Ronggeng tumbuh alami di tengah masyarakat, pembinaan mendalam dari instansi pemerintah terkait, belum terasa benar," terang Ernawati.
Budaya masyarakat
Menurut salah seorang cadiak pandai, Dirmansyah, Kajai, Talu dan Sinuruik masih kental menganut adat Minangkabau. Salah satu aplikasi budaya itu terlihat pada upacara-upacara perkawinan. Talu memiliki budaya maminang (melamar) atau masyarakat setempat menyebutnya bakiangan.
Tradisinya berbeda dengan daerah lain di Provinsi Sumbar. Maminang dilakukan oleh pihak keluarga laki-laki, bukan wanita dengan menganut aliran Datuk Katamangungan. Maninang dengan mengunakan pinang baukia dalam bentuk cincin sebagai tanda. Cincin tersebut tidak mutlak harus emas, dan menunjukkan besar atau kecilnya alek (perhelatan) yang bakal dilakukan.
Tanda tersebut ada dua jenis, tanda bajujuang (diletakkan di atas kepala) dan bakapik atau badukuang (digendong). Bajujuang tersebut mempunyai sebutan ayam putiah tabang siang ko kukuaknyo badarai-darai. Menandakan, pesta perkawinannya bakal besar diadakan. Sedangkan, bakapik atau badukuang menandakan perhelatan itu kecil.
Pada setiap perhelatan selalu ada carano yang berisi pinang, sirih, gambia, tembakau, sadah. Dalam sistem pemerintah adat, pucuk pimpinan adat dipegang oleh Angku Basa. Angku Basa ini dibantu oleh Sandaran Rajo (tempat meminta pendapat), Majo Indah (menentukan salah atau betulnya pendapat tersebut), Bandaro (juru bicara angku basa), dan Majo Sudeo (kepala yang membidangi kebutuhan istana).
Ninik Mamak atau Andiko diberi hak otonom untuk menentukan daerah masing-masing, yang saat ini terdapat 25 orang. Artinya, otonomi daerah Talu telah sejak lama dilaksanakan, jauh sebelum diterapkan oleh pemerintah sekarang. Andiko itu dipilih oleh Mamak Tuo selaku penentu pantas atau tidaknya atau lebih dikenal dengan istilah soko balega, cahayo batimbang.
Ditambahkan, saat ini pembangunan Rumah Gadang di daerah Talu masih terkendala. Pembagunan telah menghabiskan dana sekitar 60 juta tersebut. Yang selesai baru pondasi bangunan, dan masih menunggu dana untuk penyelesaian meskipun belum jelas dari mana sumbernya.
Sementara itu, di daerah Sinuruik, Induak Nan Barampek, Amril Saindo Mangkuto menyebutkan, pucuk pimpinan adat adalah Tuanku Nan Sati. Lalu mempunyai bawahan yang bernama Induak Barampek yang terdiri dari Majo Sadio, Gapo Alam, Sinaro Nan Panjang, Saindo Mangkuto. Keempat bawahan tersebut bertugas selaku hakim adat, sedangkan hakim bidang agama Imam Kayo, Tamalin Rajo, Bilal Rajo dan Khatib Rajo.oJE Syawaldi CH/Musriadi Musanif
disalin dari :http://musriadi.multiply.com/journal/item/30
1 komentar:
test comment
Posting Komentar